Dalam fotografi, teknik pencahayaan dapat porsi terbesar, setelah itu tentang focusing. Kalau ngomongin pencahayaan, maka yang kita bahas adalah aperture atau diafragma, kemudian kecepatan rana, dan yang terakhir adalah ISO. Kalau soal focusing, serahkan aja sama kecerdasan kamera dan lensa. Maksudnya, pakai auto focus aja. Simpel.
Kecepatan rana atau shutter speed, ini yang mengatur lamanya cahaya yang terekam oleh film atau sensor kamera. Semakin lama kita membuka rana, misal 1 atau 5 detik, maka makin banyak cahaya yang terekam. Sebaliknya, kalau kita atur kecepatan pada 1/30 atau 1/250 detik, maka makin sedikit cahaya yang terekam.
Selain tentang cahaya, kecepatan rana ini punya efek menghentikan gerakan. Makin cepat shutter speed, maka benda yang bergerak akan terlihat diam. Kalau mau bikin foto levitasi, ya pakailah kecepatan 1/200, 1/500 detik dan seterusnya.
Sekarang tentang isi pesan dalam sebuah foto. Pasti semua sudah tahu bahwa kata ’photography’ itu serapan dari bahasa Yunani, yaitu ’photos’ yang berarti cahaya dan ’grafos’ yang punya arti menulis. Coba browsing juga tentang camera obscura. Pasti nanti akan lebih jelas. Singkatnya, fotografi adalah bahasa gambar.
Karena fotografi adalah bahasa gambar, penting bagi kita untuk memahami aperture, shutter speed dan ISO karena mereka bertiga itu yang berkaitan dengan cahaya. Ibaratnya gini deh, enggak akan mungkin kita berkomunikasi dengan orang asing kalau kita tidak menguasai bahasa yang sama. Nah, dalam fotografi ini bahasanya adalah cahaya. Jadi mau nggak mau ya itulah yang harus kita pelajari dahulu.
Kalau pencahayaan sudah dipelajari dan kita sudah bisa membuat foto yang berbicara, maka hal selanjutnya yang gak kalah penting adalah tentang artistik. Sisi artistik ini tentang keindahan sebuah foto, ini bisa diciptakan melalui komposisi. Masalahnya adalah, komposisi tidak bisa diatur oleh kamera.
Fotografernya yang harus menentukan komposisi seperti apa yang mau dipakai dalam sebuah foto. Ini murni tentang rasa, tentang kepekaan kita menangkap moment, tentang bagaimana kita menciptakan sebuah foto yang nyaman dilihat. Kuncinya ya harus sering melihat foto hasil karya orang lain yang bagus dan kemudian melatih diri sendiri supaya bisa membuat karya yang baik juga.
ISO, ini mengatur sensitivitas sensor kamera terhadap cahaya. Kalau memotret di tempat terang, pakai ISO rendah, misalnya ISO 100 atau 200. Jika kondisi cahaya kurang, pakai ISO tinggi, misal ISO 800 atau ISO 1600.
Tapi hati-hati, semakin tinggi ISO biasanya kualitas cahaya yang terekam akan menurun. Lalu bisa nggak kita motret dalam kondisi kurang cahaya dengan ISO rendah? Ya bisa. Coba seting dengan aperture besar. Atau mainkan shutter speed rendah. Atau, yang paling gampang adalah, pakai-bantuan-lampu-flash. Gampang tho?
Banyak juga foto yang pencahayaannya biasa saja tapi terlihat menarik karena moment yang tertangkap sangat pas atau si fotografer bisa memaksimalkan komposisinya. Ini sering terjadi pada foto jurnalistik atau pada genre streetphotography.
Aperture, ini biasanya ditandai dengan angka ’f’ atau f/stop. Ini yang menentukan banyaknya cahaya yang masuk. Urutan f/stop dari yang terbesar sampai yang terkecil adalah: f/1 – f/1,4 – f/2 – f/2.8 – f/4 – f/5,6 – f/8 – f/11 – f/11 – f/16 – f/22.
Kenapa angka yang kecil justru melambangkan bukaan diafragma besar? Ndak usah bingung, bayangin aja ’f’ ini adalah pizza. Jadi kalau misalnya f/2, kita bacanya ‘pizza dibagi 2’. Ini tentu lebih besar dibanding dengan potongan f/16 atau ‘pizza dibagi 16’. Bener ndak?
Kalau cahaya kita anggap sebagai rumah, maka komposisi ini bisa diibaratkan seperti cara mengatur interior rumah supaya nyaman untuk dihuni. Salah satu cara untuk bisa menciptakan ruangan yang nyaman adalah dengan cara melihat buku-buku desain interior lalu kemudian kita coba terapkan di rumah kita dengan berbagai penyesuaian dengan kondisi yang ada. Ya sama aja dengan foto, cari referensi lalu kemudian praktekan.